Minggu, 22 April 2012

membangun keberagaman paradigma inklusif

MAKALAH
MEMBANGUN PARADIGMA KEBERAGAMAN INKLUSIF

Dosen Pengampu :
Drs. Triwahyudianto, S.Pd., M.Pd




Oleh :
    KELOMPOK 2   
Khusnul khotimah        :110401140208
Astriani happy  p.s        :110401140198
Silvia ayu saidah        :110401090066
Siti masruroh        :110401090192
Nur masfufah        :110401140 228
Hultia anisa rukmini        :110401090204

                 
                 UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2012

KATA PENGANTAR


    Alhamdulillah, syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Membangun Paradigma Keberagaman Inklusif” dengan baik.
    Kami menyusun makalah ini dengan tujuan untuk memenuhi syarat tugas mata kuliah Pendidikan Multikultural, dan untuk menambah pengetahuan kami tentang paradikma keberagaman inklusif karena negara kita yang terdiri dari bermacam kebudayaan, sehingga kami harus benar-benar paham agar kami bisa menyikapi perbedaan kebudayaan yang terjadi di negara ini.
    Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada :
1.    Bapak Drs. Triwahyudianto, S.Pd., M.Si, selaku dosen Pendidikan Multikultural yang telah memberikan ilmu pengetahuan tentang pendidikan multikultural dan semangat untuk kami dalam belajar.
2.    Orang Tua kami, yang selalu mendoakan, memberi semangat, serta memfasilitasi kami dalam mengerjakan makalah ini.
3.    Teman-teman yang memberikan bantuan dan suportnya pada kami dalam belajar.

    Kami menyadari makalah yang kami buat ini jauh dari sempurna, sehingga kami sangat membutuhkan kritik dan saran dari dosen dan teman-teman dalam penyusunan makalah ini, agar kedepannya jauh lebih baik lagi.
    Kami mohon maaf jika dalam penyusunan makalah ini ada kata-kata yang kurang berkenan. Semoga makalah yang kami susun ini bermanfaat  bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa universitas kanjuruhan malang pada khususnya.




            Malang,     25 Maret 2012



                     Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
a.    Latar Belakang
b.    Rumusan Masalah
c.    Tujuan
d.    Manfaat
BAB II : PEMBAHASAN
a.    Mengenai paradigma keberagaman
b.    Nilai nilai membangun keberagaman inklusif
c.    Peran guru dalam membangun keberagaman inklusif siswa
BAB III : PENUTUP
a.    Kesimpulan
b.    Saran
DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Mengetahui akan paradigma keberagaman inklusif itu sangat penting mengingat negara kita merupakan negara kaya dengan keragaman budaya, agama, ras, etnik, dan golongan lainnya. Perbedaan yang ada dalam masyarakat yang majemuk ini menimbulkan banyak benturan budaya, ras, etnik, agama dan adat istiadat yang berlaku pada masyarakat. Kesalah pahaman dan ketidak tahuan tentang latar belakang setiap budaya bisa memicu masalah saling merendahkan, seperti yang kita lihat realita perang antar suku, sampai menghilangkan nyawa seseorang dan dendampun tidak akan pernah berhenti membara dalam hati mereka. Ini bukan masalah kecil, tetapi ini menyangkut keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, jika tidak ada campur tangan dari pemerintah dan seluruh warga negara, akan sulit juga mengatasi masalah ini.
Untuk itu pengetahuan tentang keberagaman harus benar-benar ada pada setiap warga negara. Diberikannya pendidikan multikultural pada setiap jenjang pendidikan sangat membantu mereka dalam memahami makna keberagaman. Setiap pelajar diharapkan peka terhadap pendidikan multikultural karena merekalah generasi muda yang nantinya akan memimpin negara ini untuk bisa membawa negara Indonesia dalam kemajuan. Dan diharapkan mereka paham bahwa negara kita ini terdiri dari beraneka macam budaya, agama, ras, dan etnis, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua dan satu keluarga besar yang harus dijaga keutuhannya. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, yaitu membela dan menjaga kesatuan Republik Indonesia dari sabang sampai merauke. Saling menghargai budaya masing-masing daerah.







B.    RUMUSAN MASALAH

a.    Apakah paradigma keberagaman inklusif itu?
b.    Apa sajakah nilai-nilai keberagaman dalam membangun keberagaman inklusif?
c.    Bagaimana peran guru dalam membangun keberagaman inklusif siswa?


C.    TUJUAN

a.    Menjelaskan paradigma keberagaman inklusif.
b.    Menjelaskan peran peran guru dalam membangun keberagaman inklusif
c.    beberapa Nilai nilai guru dalam membangun paradigma keberagaman

D.    MANFAAT

a.    Bagi Penyusun
Untuk menambah dan mengaaplikasikan pengetahuan tentang paradigma keberagaman  di kehidupan sehari – hari.

b.    Bagi Pembaca
membangun pemahaman keberagamaan yang inklusif pada pembaca pada umumnya dan mengimplementasikan nilai-nilai kebergamaan yang inkluisf di masyarakat.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    PARADIGMA KEBERAGAMAN
Di era multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan agama sedang mendapat tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari eksklusifitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim non-muslim, surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas selalu diindoktrinasi.
Pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan peserta didik yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontestual, substantif dan aktif sosial.
Paradigma keberagamaan yang inklusif-pluralis berarti menerima pandapat dan pemahaman lain yang memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan. Pemahaman keberagamaan yang multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang humanis adalah mengakui pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama, artinya seorang yang beragama harus dapat mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan; menghormati hak asasi orang lain, peduli terhadap orang lain dan berusaha membangun perdamaian bagi seluruih umat manusia.
Paradigma dialogis-persuasif lebih mengedepankan dialog dan cara-cara damai dalam melihat perselisihan dan perbedaan pemahaman keagmaan dari pada melakukan tindakan-tondakan fisik seperti teror, perang, dan bentuk kekerasan lainnya. Paradigma kontekstual berarti menerapkan cara berfikir kritis dalam memahami teks-teks keagamaan. Paradigma keagamaan yang substantif berarti lebih mementingkan dan menerapkan nilai-nialai agama dari pada hanya melihat dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan. Sedangkan paradigma pemahaman keagmaan aktif sosial berati agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan rohani secara pribadi saja. Akan tetapi yang terpenting adalah membangun kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi sosial yang nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia, kita dapat berfikir
dan bila kita mencermati berbagai kasus terjadinya konflik keagamaan akhir-akhir ini, salah satu faktor penyebabnya adalah adanya paradigma keberagamaan masyarakat yang bersifat eksklusif. Karena itu, diperlukan langkah-langkah preventif untuk mencegah berkembangnya paradigma tersebut, yaitu dengan membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual melalui pendidikan, media massa, dan interaksi sosial.
B.     NILAI NILAI KEBERAGAMAN INKLUSIF DI SEKOLAH
                   menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
 Dalam membangun pemahaman keberagaman siswa yang inklusif, guru mempunyai posisi penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan inklusif di sekolah. Adapun peran guru di sini, meliputi;
1.     seorang guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif.
2.     guru/dosen seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut.
3.     guru/dosen seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama.
4.     guru/dosen mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama



C.    PERAN GURU DALAM MEMBANGUN KEBERAGAMAN INKLUSIF SISWA
problematika keberagamaan di sekolah dan bagaimana peran guru/dosen dalam membangun pemahaman keberagamaan yang inklusisf pada siswa:
1.   Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah.
Guru sebagai orang dewasa dan kebijakan sekolah harus menerima bahwa ada agama lain selain agama yang dianutnya. Ada pemeluk agama lain selain dirinya yang juga memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya beragam agama, sekolah harus melayani kegiatan rohani semua siswanya secara baik. Hilangkan kesan mayoritas minoritas siswa menurut agamanya. Setiap kegiatan keagamaan atau kegiatan apapun di sekolah biasakan ada pembauran untuk bertoleransi dan membantu antarsiswa yang beragama berbeda.
Hal ini perlu diterapkan di sekolah yang berbasis agama tertentu atau menerima siswa yang beragama sejenis. Guru dan kebijakan sekolah tidak mengungkapkan secara eksplisit, radikal, dan provokatif dalam wujud apapun, karena di luar sekolah itu siswa akan bertemu, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama. Sebagai bahan renungan, seorang guru harus peka dan bijaksana menjelaskan sejarah Perang Salib, bom Bali, konflik antarpemeluk agama di Maluku, terorisme, dan sebagainya. Jangan sampai ada ketersinggungan sekecil apapun karena kecerobohan ungkapan guru. Sekecil apapun singgungan tentang agama akan membekas dalam benak siswa yang akan dibawanya sampai dewasa.
2.    Menghargai keragaman bahasa di sekolah
Dalam suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa yang berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di sekolah, namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap ungkapan bahasa, baik lisan maupun tulisan.
Sekolah perlu memiliki peraturan yang mengakomodasi penghargaan terhadap perbedaan bahasa. Guru serta warga sekolah yang lain tidak boleh mengungkapkan rasa ”geli” atau ”aneh” ketika mendengarkan atau membaca ungkapan bahasa yang berbeda dari kebiasaannya. Semua harus bersikap apresiatif dan akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan yang ada seharusnya menyadarkan kita bahwa kita sangat kaya budaya, mempunyai teman-teman yang unik dan menyenangkan, serta dapat bertukar pengetahuan berbahasa agar kita semakin kaya  wawasan.
3.    Membangun sikap sensitif gender di sekolah
”Dasar perempuan, cerewet dan bisanya menangis!”. ”Mentang-mentang cowok, jangan sok kuasa ngatur-ngatur di kelas ya!”. ”Syarat pengurus ekstrakurikuler adalah ketua harus cowok, sekretarisnya cewek, seksi perlengkapan cowok, seksi konsumsi cewek, ….”. Contoh ungkapan-ungkapan itu harus dihapus dari benak dan kebiasaan guru, siswa, dan warga sekolah yang lain.
Pembagian tugas, penyebutan contoh-contoh nama tokoh, dan sebagainya harus proporsional antara laki-laki dan perempuan. Tak ada yang lebih dominan atau sebaliknya minoritas antara gender laki-laki dan perempuan. Dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kodrati, penerapan gender dalam ftngsi-fungsi pembelajaran di sekolah harus proporsional karena setiap siswa laki-laki dan perempuan memiliki potensi masing-masing. Perempuan jadi pemimpin, laki-laki mengurusi konsumsi, atau yang lain saat ini bukan sesuatu yang tabu. Biarlah siswa mengembangkan potensinya dengan baik tanpa bayang-bayang persaingan gender. Siapa yang berpotensi biarlah dia yang berprestasi. Berilah reward pada pada siapapun dengan gender apapun yang mampu berprestasi, sebaliknya beri punishment yang tegas mendidik terhadap sikap, ucapan, dan perilaku yang menyinggung perbedaan gender.
4.   Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial
Pelayanan pendidikan dan penegakan peraturan sekolah tidak boleh mempertimbangkan status sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status sosial dalam kelompok dan kelas untuk berinteraksi normal di sekolah. Meskipun begitu, guru dan siswa harus tetap memahami perbedaan sosial yang ada di antara teman-temannya. Pemahaman ini bukan untuk menciptakan perbedaan, sikap lebih tinggi dari yang lain, atau sikap rendah diri bagi yang kurang, namun untuk menanamkan sikap syukur atas apapun yang dimiliki. Selanjutnya dikembangkan kepedulian untuk tidak saling merendahkan namun saling mendukung menurut kemampuan masing-masing. Sikap empati dan saling membantu tidak hanya ditanamkan di lingkungan sekolah saja. Suatu waktu siswa bisa diajak berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di panti asuhan, panti jompo, dan sebagainya. Atau bila ada musibah di antara warga sekolah atau daerah lain siswa diajak berdoa dan memberikan sumbangan. Sekecil apapun doa, ucapan simpati, jabat tangan, pelukan, atau bantuan material akan sangat bermakna bagi pembentukan karakter siswa juga siapapun yang menjadi obyek empati.
5.    Membangun sikap antideskriminasi etnis
Sekolah bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, dimana berbagai etnis menuntut ilmu bersama di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis mayoritas terhadap etnis lainnya. Tapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis yang semula  mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negatif terhadap etnis yang berbeda. Sebagai misal ungkapan seperti ini, ”Dasar Batak, ngeyel dan galak”, ”Heh si Aceh ya, slamat ya terhindar dari Tsunami”, ”Halo Papua Kritam (kriting dan hitam)”, ”Ssst, jangan dekat dengan orang Dayak, nanti dimakan lho”.
Tanamkan dan biasakan pergaulan yang positif. Pahamkan bahwa inilah Indonesia yang hebat, warganya beraneka ragam suku atau etnis, bahasa, tradisi namun bisa bersatu karena sama-sama berbahasa Indonesia dan bangga menjadi bangsa Indonesia. Bila bertemu saling bertegur sapa, ”Halo Tigor, senang bertemu denganmu, kapan ya saya bisa berkunjung ke Danau Toba yang indah”, ”Wah, pemain bola dari Papua hebat-hebat ya, ada Eduard Ivakdalam, Emanuel Wanggai, Elly Eboy, dan lainnya. Suatu saat kamu bisa seperti mereka”. Ciptakan kultur dan kehidupan sekolah yang Bhinneka Tunggal Ika dengan interaksi dan komunikasi yang positif.
6.    Menghargai perbedaan kemampuan
Sekolah tidak semua siswanya berkemampuan sama atau standar. Dalam psikologi sosial dikenal istilah disability, artinya terdapat sebuah kondisi fisik dan mental yang membuat seseorang kesulitan mengerjakan sesuatu yang mana orang kebanyakan dapat mengerjakannya dengan mudah. Dalam orientasi awal masuk dan pengamatan proses guru dan siswa dapat saling memahami kelebihan dan kelemahan masing-masing. Karena siswa sudah menjadi bagian warga sekolah, maka jangan sampai sikap, ucapan, dan perilaku yang meremehkan atau mentertawakan kelemahan yang sudah dipahami. Hal itu sangat berdampak negatif, baik bagi siswa yang unggul maupun siswa yang lemah. Yang unggul akan merasa  jumawa dengan keunggulannya sehingga bisa membuatnya lalai dan tidak berprestasi optimal. Bagi siswa yang lemah akan menjadi tidak termotivasi belajar dan merasa terkucilkan. Sebaiknya dibiasakan  pembauran siswa unggul dan lemah dalam kelompok atau kelas agar terjadi pembimbingan sebaya, yang unggul semakin kuat pemahamannya tentang suatu materi dan merasa bermanfaat dengan ilmunya, serta yang kurang memperoleh guru sebaya yang lebih komunikatif dan merasa diterima oleh teman-temannya.
7.    Menghargai perbedaan umur
Setiap individu siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan kejiwaannya sesuai pertambahan umurnya. Guru harus memahami ini, terutama tentang karakteristik psikologis dan tingkat kemampuan sesuai umurnya. Sebagai misal kemampuan berbahasa, analisis masalah, berkarya siswa SMP kelas VII akan berbeda dengan kelas IX, apalagi dibandingkan dengan siswa SMA, mahasiswa atau gurunya. Selain itu jangan sampai ada deskriminasi, sikap, ucapan, dan perilaku negatif diantara warga sekolah dengan sebutan dominasi senior atas yunior, pelecehan berdasar perbedaan ukuran fisik, kata sebutan atau panggilan yang tidak disukai (misal ”si Unyil” untuk siswa bertubuh kecil, ”bayi ajaib” untuk siswa berusia lebih muda tapi pintar, ”tuyul” untuk adik kelas yang berkepala gundul, dan sebagainya). Seharusnya yang lebih tua memberi tauladan, memberi motivasi, memberi kepercayaan, demokratis, membimbing, mengasuh, dan melindungi yang lebih muda. Yang muda menghormati, sopan santun, menauladani kebaikan, dan membantu yang lebih tua. Rohidi (2002) dan Tilaar (2002) menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan multikultural  sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan karakter generasi bangsa yang kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian dalam penerapannya harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner. Implementasinya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah. Pendekatan multikulturalisme erat dengan nilai-nilai dan pembiasaan sehingga perlu wawasan dan pemahaman yang mendalam untuk diterapkan dalam pembelajaran, tauladan, maupun perilaku harian. Proses itu diharapkan mampu mengembangkan kepekaan rasa, apresiasi positif, dan daya kreatif. Kompetensi guru menjadi sangat penting sebagai motor pendidikan dengan pendekatan multikulural.




                                                                       BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
                     dengan membangun paradigma pemahaman keberagmaan yang lebih humanis, pluralis, dan kontekstual diharapkan nilai-niali universal yang ada dalam agama sepeti kebenaran, keadilan, kemanusiaaan, perdamaian dan kesejahteraan umat manusia dapat ditegakkan. Lebih khusus lagi, agar kerukunan dan kedamaian antar umat bergama dapat terbangun.
B.    SARAN
                     Menyikapi kondisi sekolah sebagai ”dunia” multikultural, pengambil kebijakan dan warga sekolah harus mengubah paradigma dan sistem sekolah menjadi paradigma dan sistem sekolah yang multikultural. Secara serentak atau bertahap harus disusun kembali sistem, peraturan, kurikulum, perangkat-perangkat pembelajaran, dan lingkungan fisik atau sarana prasarana sekolah yang berbasis multikultural berdasarkan kesepakatan warga sekolah. Selanjutnya yang terpenting adalah secara kontinyu dilakukan orientasi kepada warga sekolah terutama warga baru, sosialisasi, tauladan guru dan kakak kelas, pembiasaan kultur sikap dan perilaku multikultural, serta pemberian reward dan punishment tentang pelaksanaan kultur sekolah dengan konsisten.



DAFTAR PUSTAKA
Google searching ....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar